Materi oleh Novi Prastiti seorang staff
pengajar di Universitas Trunojoyo Madura dalam kulgram.
IT governance dimulai oleh sebuah
pertanyaan dasar.
Apakah penerapan TI selalu berhasil...?
Kalo kita lihat data diatas, fakta yg ada
di lapangan 70% proyek TI gagal. Dari survey yang dilakukan oleh standish
group, penerapan ERP hanya 10% yang berhasil. Di amerika fifty2. Sedangkan di
Eropa cuma 15% yang berhasil
Lalu….
Jika di Negara yang notabene adalah negara
maju, lantas bagaimana dengan di Negara kita?
Yuk…. mari kita lihat datanya
Fakta yang disajikan oleh Data
Corporation, Indonesia adalah negara dengan belanja TI terbesar se ASEAN. Tapi,
apakah dengan itu menjadikan Negara kita atau minimal kota tempat kita tinggal menggunakan
konsep "smart city"?
Proyek e KTP apa kabar?
Dan masih banyak kabar2 lain dari proyek
TI negara kita yang perlu dikaji lagi. Nah, kalau ini contoh dari proyek gagal.
Sekarang coba kita lihat data jika sebuah perusahaan bisa menerapkan TI dengan
baik. Benar sih memang perlu dikaji, apalagi di tempatku saat ini dalam
penerapan ERP.
Ini BCA, coba kita lihat transaksi yang
didapatkan BCA dari penerapan TI nya. BCA mendapatkan penghasilan 115 trilyun
per bulan hanya dari bisnis ATM dan 65 trilyun dari transaksi EDC.
Nah, ini bluebird. Bluebird yang awalnya
hanya 200 pesanan taxi per hari bisa meningkat menjadi 600 pesanan. Menggunakan
aplikasi mobile. Lalu, apa yang perlu diubah dari paradigma kita tentang TI? Pola
aplikatif nya terhadap IT atas SDMnya.
Yg perlu kita ubah adalah pandangan bahwa
TI untuk saat ini bukan hanya sebagai penyedia layanan tetapi lebih sebagai
partner strategis terhadap bisnis.
Governance atau tata kelola hanya ada 2
tujuan. Tapi terkadang tanpa sadar TI malah membuat ruang lingkup baru, lantas
memunculkan kesenjangan sosial bagi beberapa kalangan yang buta akan teknologi.
Yang pertama, memberikan kontribusi nilai
baru bagi sebuah bisnis dan mengurangi kegagalan atau resiko bisnis. Nah, ini
konsep IT governance diperlukan. Tetapi sering ada pertanyaan. “Kok bisa sih pake
TI perusahaan saya malah gak jelas, apa-apa terlambat, lebih lama, ribet deh...”
Nah itu banyak yang malah beranggapan
ribet, padahal buat kedepannya lebih terkendali.
Coba amati diagram diatas, IT memiliki
resource atau sumber daya.
Ada 4 IT resource:
Yang pertama, ada aplikasi
Kedua, informasi
Ketiga, infrastruktur
Keempat, sumber daya manusia.
Dari 4 resource ini, penyebab terbesar
kegagalannya ada di sumber daya manusia. Karena biasanya jajaran top management
ini tidak paham. TI ini mau dibawa kemana? kebutuhan bisnisnya apa? bisa
dipakai berapa tahun lagi? kenapa kok kita harus memperhitungkan usia
penggunaan TI?. Karena harga sebuah proyek TI ini mahal, sedangkan biasanya TI
yang diimplementasikan di perusahaan tidak sesuai dengan bisnisnya. Dan tidak
sesuai dengan kebutuhan beberapa tahun kedepan. Nah kebanyakan, TI ini dipesan
berdasarkan pengetahuan terbatasnya para pimpinan tanpa ada perencanaan atau
blueprint TI dan bisnisnya.
Jika kita menganggap TI adalah sebuah
partner strategis, maka kita harus tahu konsep untuk blueprint TI. Sebuah
bisnis, dimulai oleh permintaan stakeholder dan ini tertuang dalam visi dan
misi sebuah perusahaan atau RJPP (Rencana Jangka Panjang Perusahaan). Kemudian,
perusahaan akan membuat perencanaan strategis TI yang sesuai dengan visi misi
tadi dan menghasilkan sebuah nilai kedewasaan TI atau maturity model. Maturity
model ini berupa angka dari nol sampai lima.
Jadi ada 6 tingkatan nilai TI dan kembali
ke resource TI tadi. Masing-masing resource harus kita ukur tingkat maturitynya.
Misal, dari pertanyaan diatas tadi “Kok bisa sih makin ribet?” Karena jajaran
top management ini tidak melihat bagaimana kondisi perusahaan saya saat ini
atau biasa kita sebut kondisi as-is. Dan mau dibawa kemana perusahaan saya
kedepan to-be. Ketika user menganggap TI adalah hal yang ribet, bisa jadi
ketika awal tidak dianalisis dan ketika analisis, kondisi as-is untuk SDM ada
dilevel 1.
Misalnya, kondisi awal untuk IT resource
dari sisi SDM adalah level 1. Tiba-tiba, top management ini pesan software A
sampai Z. Dan software tersebut masuk ke kondisi to-be level 5. Maka akan ada
gap sebesar 4 point, 5 - 1 = 4. User atau SDM tadi yang awalnya dilevel 1 susah
untuk menyesuaikan 4 point ini.
Solusinya bagaimana...? SDMnya diberi
pelatihan, termasuk langkah-langkahnya. Tapi, yang lebih utama adalah RJPP (Rencana
jangka panjang perusahaan). Dan rencana jangka pendek atau rencana operasional
ini harus singkron dengan User untuk menyesuaikan ketertinggalan 4 point ini
harus dicapai dalam waktu sekian tahun. Ini harus ada penjadwalan. Penjadwalan
pada RJPP atau renstra (rencana strategis) dan dilaksakan lewat renop (rencana
operasional) tahunan.
Jika RJPP udah dibuat sedangkan IT dipaksakan
masuk apa perlu dilakukan RJPP baru?
Bukan RJPP baru tapi TI nya yang mengikuti
bisnis. Analisisnya pakai SAM (Strategic Aligment Model).
Apa dengan SAM bisa membuat penjadwalan untuk
solusi dari GAP tersebut.
Kalau biasanya RJPP sudah ada, maka bisa
pakai SAM diperspektif 1 dan 2. RJPP ini sebuah bisnis strategi. Dari bisnis
strategi ini ITnya menyesuaikan karena akan ada beberapa tahapan mulai dari
wawancara awal termasuk pembuatan kuesioner untuk mengetahui posisi perusahaan.
Nanti ada hasil kuesioner dan wawancara yang menjelaskan pemetaan IT resource
perusahaan. Kemudian kondisi bisnis yang diinginkan beberapa tahun kedepan
bagaimana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar